Selasa, 15 Januari 2013

Sejarah Pengumpulan Al-Qur'an


Al qur’an adalah mukjizat islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap menuju yang terang serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Al qur’an adalah salah satu kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan
secara mutawattir. Oleh dari itu kita harus mengetahui bagaiman sejarah pembukuan dan pembakuan al-qur’an dari masa Nabi hingga masa Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana al-qur’an yang kita baca sehari hari.
Proses pembukuan dan pembakuan melewati dua fase :
  1. pengumpulan dalam arti hifdzuhu (menghafal dalam hati). Inilah makna yang dimaksud dalam Allah kepda Nabi Muhammad, dalam surah Al-Qiyamah ayat 16-19. karena ketika turunnya wahyu melalui jibril, Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-qur’an ketika Jibril belum selesai mengatakan wahyu.
  2. pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi (penulisan al-qur’an semuanya), baik dengan memisahkan ayat-ayatnya dan surat-suratnya, atau mentertibkan surah dalam satu lembaran terpisah, ataupun mentertibkan ayat-ayatnya dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun seluruh surah.
Al-qur’an diwahyukan oleh Allah dalam tujuh logat bahasa arab, dan dahulu Rasulullah membenarkan/membolehkan seluruh bacaan tersebut. Akan tetapi perbedaan logat tersebut menimbulkan perselisihan di tengah-tengah umat islam, yaitu pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, maka beliau memerintahkan agar seluruh ummat islam membaca al-qur’an dengan satu logat, yaitu logat orang-orang Quraisy dan pembukuannya pun disesuaikan dengan logat tersebut. Inilah sejarah singkat cerita yang terjadi di zaman Khalifah Utsman bin Affan.
Selanjutnya penulis akan memamparkan perjalanan sejarah tentang proses bagaimana pembukuan dan pembakuan dari zaman Nabi sampai al-qur’an yang saat ini sampai di tangan kita semua.

Proses pembukuan dan Pembakuan Al Qur’an

Periode Nabi Muhammad SAW
Al-qur’an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafal secara pribadi, Nabi juga mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan dihafalkan. Ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal, karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan. Sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-qur’an untuk dimilikinya sendiri.
Pada masa Rasulullah untuk menulis teks Al-qur’an sangat terbatas, sampai-sampai para sahabat menulis Al-qur’an di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun al-qur’an sudah tertulis pada masa nabi, tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Karena pada saat itu memang sengaja dibentuk hafalan yang tertanam didada para sahabat. Sedangkan untuk penulisannya tidak dibukukan dalam satu mushaf, dikarenakan Rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat al-qur’an ada yang di mansukh oleh ayat yang lain, apabila al-qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi.
Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui bahwasannya kebiasaan Nabi Muhammad memanggil juru tulis ayat-ayat yang baru turun, jadi ketika masa Rasulullah seluruh al-qur’an sudah tersedia dalam bentuk tulisan.
Priode Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah wafat pada tahun ke-11 H, para sahabat secara aklamasi meilih Abu Bakar untuk memegang tampuk pemerintahan sekaligus menjadi khalifah. Pada awal permerintahannya Abu bakar, banyak menghadapi persoalan diantaranya banyaknya orang islam yang murtad, munculnya gerakan anti zakat dan orang-orang yang mengaku sebagai Nabi yang dopelopori oleh Musailamah al-kaddab.
Akhirnya dengan jiwa kepemimpinannya Umar mengirim pasukan untuk memeranginya. Tragedi ini dinamakan perang YAMAMAH (12 H), yang menewaskan sekitar 70 para Qori’ dan Huffadz, dari sekian banyaknya para huffadz yang gugur, Umar khawatir Al-qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar mengusulkan pada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan al-qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf.
Pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah, akhirnya dengan dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan al-qur’an, Umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik “, dengan terpaksa dan terbukanya hati Abu Bakar, akhirnya usulan Umar diterima. Dan kemudian Abu bakar membentuk sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit yang dibantu oleh beberapa orang sahabat yaitu, Umar bin Khattab, Ubay bin Al-Ka’ab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Salim bin Ma’qi.
Mulanya Zaid bin Tsabit juga menolaknya dikarenakan pembukuan Al-qur’an tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, sebagaimana Abu Bakar menolaknya untuk mengumpulkan al-qur’an dalam satu mushaf. Alasan umar agar segera membukukan al-qur’an agar tetap terjaga eksistensinya ditengah-tengah umat.
Ada 2 rambu-rambu yang dipegang oleh Zaid bin Tsabit dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua : (1) ayat-ayat al-qur’an tersebut ditulis dihadapan Rasulullah, (2) ayat-ayat yang ditulis tersebut harus di hafal harus juga dihafal oleh para sahabat pada masa itu. Dan Umar tidak menerima ayat dari seseorang tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi.
Maka sejak itu panitia yang dibentuk oleh Abu Bakar mulai menyusun dan mengumpulkan dari pelepah kurma, tulang-tulang, batu-batu tipis, serta dari hafalan para sahabat . hingga aku dapatkan akhir surah At-Taubah pada diri Khuzaimah al-Anshari yang tidak aku temukan dari yang lainnya, yaitu Q.S. At-Taubah : 128.
Saking telitinya, hingga pengambilan akhir surah at-Taubah sempat terhenti karena tidak bisa dihadirkannya dua orang saksi yang menyaksikan bahwa surah at-Taubah tersebut ditulis dihadapan Rasulullah, kecuali kesaksian Khuzaimah saja. Para sahabat tidak berani menghimpun akhir ayat tersebut, sampai terbukti bahwa Rasulullah telah berpegang pada kesaksian Khuzaimah. Setelah kesaksian Khuzaimah sebanding dengan kesaksian dua orang muslim yang adil, barulah mereka menghimpun lembaran yang disaksikan oleh Khuzaimah tersebu.
Akhirnya, rampung sudah tugas pengumpulan al-qur’an yang sangat berat namun mulia ini. Perlu diketahui, bahwa ini bukan pengumpulan Al-Qur’an untuk ditulis dalam satu mushaf, tetapi sekedar mengumpulkan lembaran-lembaran yang telah ditulis dihadapan Rasulullah SAW kedalam satu tempat.
Lembaran-lembaran Al-Qur’an ini tetap terjaga bersama Abu Bakar selama hidupnya. Kemudian berada di Umar bin Khattab selama hidupnya. Kemudian bersama Ummul Mu’min Hafshah binti Umar sesuai wasiat Umar bin Khattab.
Priode Khalifah Umar bin al-Khattab
Pada masa Umar tidak terjadi penyusunan dan permasalahan apapun tentang Al-Qur’an karena al-qur’an dianggap sudah menjadi kesepakatan dan tidak ada perselisihan dari kalangan para sahabat dan para tabi’in.
Priode Khalifah Utsman bin Affan
Pada masa Khalifah Utsman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai Tripoli Barat. Armenia dan Azarbajian. Pada waktu itu islam tersebar dibeberapa wilayah Afrika, syiria dan Persia. Para penghafal al-qur’an akhirnya tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat dikalangan kaum muslim mengenai bacaan (qira’at) al-qur’an.
Akhirnya sahabat Nabi yang bernama Hudzaifah bin al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-qur’an. Hudzaifah melihat penduduk Syam membaca al-qur’an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab, mereka membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu juga ia melihat penduduk Irak membaca al-qur’an dengan bacaan Abdullah bin Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam.
Implikasi dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengjkafirkan diantara sesame muslim. Perbedaan tersebut juga terjadi antar penduduk Kufah dan Basrah. Karena penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud sedangkan penduduk Basrah membaca qiraat Abu Musa.
Sekitar tahun 25 H, datanglah Hudzaifah menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan di Madinah. Kemudian Hudzaifah berkata “wahai Amirul Mu’minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih tentang kitab (al-qur’an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani”.
Adanya perbedaan dalam bacaan al-qur’an bukan barang baru, sebab Umar sudah mengantisipasinya bahaya ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibnu Mas’ud ke Irak, setelah Umar diberitahukan bahwa dia mengajarkan al-qur’an dalam dialek Hudhail (sebagaimana Ibnu Mas’ud mempelajarinya), dan Umar tampak naik pitam. Kemudia Umar berkata “sesungguhnya al-qur’an telah turun dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail”
Selanjutnya Utsman mengutus seseorang datang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran al-qur’an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin kedalam beberapa mushaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi. Hafshah pun mengirimkan lembaran-lembarn al-qur’an kepada Utsman.
Khalifah Utsman lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan Abdurahman bin Harits bin Hisyan untuk menyakinnya kedalam beberapa mushaf. Sedangkan untuk penulisannya diserahkan kepada Zaid bin Tsabit karena dia merupakan penulis dizaman Rasulullah SAW, untuk yang mendiktenya dipilih Said bin al-‘Ash, karena dia paling pintar bahasa arabnya.
Saat proses penyalinan mushaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”. Seperti diketahui, yang mendiktenya adalah Said bin al-‘Ash dan yang menulisnya adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan dihadapan para sahabat. Ketika Said bin al-‘Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menulisnya Sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menulisnya. Tetapi anggota tim lain memeberitahukan kepaa Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis didalam lembaran-lembaran al-qur’an dengan Ta’ Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya ke Zaid bin Tsabit. Lalu Zaid memandang perlu menyampaikan hal itu kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam lembaran-lembaran al-qur’an yaitu Ta’Maftuhah. Sebab hal itu merupakan bahasa orang Quraisy, lagipula al-qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Demikianlah, mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka hanya menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-qur’an dan bukan berdasarkan ijtihad mereka.
Hasil kerja tersebut berjudul empat mushaf al-qur’an standar. Tiga diantaranya dikirim ke Syam, Kufah dan Basrah sedangkan satu mushaf ditinggal di Madinah untuk Utsman sendiri yang dikenal sebagai al Mushaf al Imam. Ada juga riwayat yang mengatakn bahwa jumlah pengadaan mushaf sebanyak lima buah, ada juga riwayat yang mengatakan sembilan buah.
Penyempurnaan Tulisan dan Bacaan Al Qur’an
Sepeningalan Utsman, mushaf al Qur’an belum diberi tanda baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah ayat. karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas ke berbagai penjuru yang berlainan dialek bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara Umat dari kekeliruan membaca dan memahami al Qur’an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa Khalifah Muawwiyah Ibn Abu Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu Al Aswad al Dauli, yang memberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada mushaf al Qur’an. Untuk “a” (fathah) disebelah atas huruf, “u” (dhammah) didepan huruf dan “i” (kasrah) dibawah huruf.
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa Khalifah Abdul Malik  Ibn Marwan (65-68 H). Dua orang murid Abu Al Aswad al Duali, yaitu Nasar Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mar memberi tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ ba, ta, Tsa” . Dalam berbagai sumber diriwayatkan    bahwa ‘Ubaidillah din Ziyad (w.67 H) memerintahkan kepada seseorang yagn berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif  (mad) pada dua ribu kata yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya,  كنث (kanat­) menjadi   كانث(kaanat). Adapun penyempurnaan tanda-tanda baca lain dilakukan oleh Imam Khalid bin Ahmad pada tahun 162 H.
Di Negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al Qur’an  di perempatan abad XX. Panitia yang dimotori  para Syekh Al Azhari ini pada tahun 1342 H/ 1923 M, berhasil menerbitkan mushaf al Qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama terbit di Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah Qira’at Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan di berbagai Negara.
Jadi  proses pembukuan dan pembakuan al Qur’an sebenarnya telah dimulai sejak masa Rasulullah Saw. Sehingga saat ini kita dapat merasakan manfaat yang luar biasa dari perjuangan tersebut, yaitu mushaf yang sudah mudah untuk dipelajari karena bacaan maupun penulisannya telah dibakukan tanpa perselisihan bacaan, sebagaimana yang terjadi pada zaman sahabat dan tabi’in.

Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, dapat diketahui bahwa Otentisitas dan Orisinalitas al Qur’an sepanjang sejarahnya tetaplah terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka, tidak perlu lagi diragukan lagi keaslian al Qur’an sebagai firman Allah Swt yang diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa Arab maupun non Arab.
Bukti historis telah memberikan data yang akurat akan keasliannya. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi, antara lain :
.    Bahasa Arab sebagai bahasa al Qur’an telah memainkan peran dan fungsi sebagai media untuk mempertahankan lafadh dan makna al Qur’an tetap lestari, bahwa al Qur’an lafdzan wa ma’nan min Allah Swt ‘al Qur’an lafadz dan maknanya sekaligus dari Allah Swt’. Ini disebabkan karena Bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar kata (asal kata). Maka, maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut, sebagaimana dapat dilihat dari definisi al Qur’an itu sendiri yang tidak jauh dari makna asal katanya yaitu membaca. Sehingga, al Qur’an berarti bacaan.
Proses pembukuan dan pembakuan al Qur’an dimulai sejak masa Rasulullah Saw, setiap kali menerima wahyu al Qur’an, Rasulullah Saw, langsung mengingat, menghafalnya dan memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat agar mereka mengingat dan menghafal pula. Namun, demi menjamin terpeliharanya keotentikan al Qur’an, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat turun, Nabi Muhammad Saw memanggil para sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya. Sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya.
Sistem periwayatan di dalam mengumpulkan dan membukukan al Qur’an juga menjadi salah satu standar keotentikan al Qur’an. Sehingga tidak hanya bersandar kepada data-data tertulis seperti beberapa mushaf yang ditulis oleh para sahabat sesuai dengan pemahamannya akan turunnya ayat per ayat atau mushaf yang telah dihimpun pada masa Abu Bakar. Periwayatan ini lebih menekankan kepada keterpercayaan perawi (sosok kepribadian perawi) bahwa ia seorang yang adil dan kuat hafalannya. Dari sini dapat ditegaskan bahwa al Qur’an diturunkan secara mutawatir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar