Selasa, 15 Januari 2013

Sejarah Asal Mula Ilmu Nahwu


Sejarah Asal Mula Ilmu Nahwu

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi. Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu? simak artikel berikut.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu. Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata,
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan,
نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ
“Wahai anakku, Bintang-bintangnya”
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ
“Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ
“Betapa indahnya langit.”
Bukan,
مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan memfathahkan hamzah…
****
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan,
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ
Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..” hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah,
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,
اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ
“Ikutilah jalan ini”
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah )
Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri ( peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawai dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Referensi:
Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah

 Author: Badar Online
http://badaronline.com/artikel/sejarah-asal-mula-ilmu-nahwu.html

Tips-Tips Cepat Baca Kitab Gundul


Tips-Tips Cepat Baca Kitab Gundul

Siapa yang ingin mengunduh mutiara, mesti harus menyelam. Untuk bisa membaca kitab gundul/kuning dengan cepat mestilah dengan usaha yang maksimal pula. Memang susah-susah mudah. Mengapa ana katakan susah-susah mudah? Sebab semuanya kembali pada:
  1. Kehendak-Nya yang memudahkan kita untuk cepat paham atau kehendak-Nya yang membuat kita sulit paham.
  2. kemudian metode atau cara kita mempelajarinya.
Para thalibul ilmi yang duduk dibangku pendidikan formal saja banyak yang kesulitan , apalagi yang diluar itu (walau tidak semua bahkan ada yang lebih Allah mudahkan). Memang bahasa Arab itu sangat komplek dan lengkap gramatikalnya apalagi jika kita mempelajarinya loncat-loncat tidak sistematis. Karena kesempurnaannya maka Allah menjadikan bahasa ini sebagai bahasa pengantar Al-Qur’an dan di dalamnya Allah telah memudahkan bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al-Qamar: 17)
Aslinya, bahasa Arab itu sulit tapi Allah mudahkan, Allah telah mudahkan bagi kita dan Allah mudahkan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Bandingkan dengan bahasa Inggris, apalagi Jepang dan Mandarin yang lebih sulit dan tidak ada jaminan dari Allah untuk memudahkannya tapi ramai peminatnya.
Tips-tips ini semoga bermanfaat bagi antum yang belajar lewat jalur non formal seperti ana, tapi insya Allah juga bermanfaat bagi antum yang duduk di jalur formal.
1) Selalu luruskan niat.
Ini yang paling penting dan terpenting, sebab jika pondasinya tidak kokoh maka dikawatirkan akan merusak dunia dan agama sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah dua ekor serigala kelaparan di giring kepada satu domba lebih merusak daripada kerakusan seseorang pada agama untuk tujuan kemuliaan dirinya (dimata manusia)” (HR. Tirmidzi).
Maka belajarlah hanya untuk mencari ridha Allah.
2) Cita-cita dan tekad baja.
Kemauan seseorang ada beberapa tingkatan, yaitu:
  • Khathir: yaitu kilasan kemauan, belum ada cita-cita yang kuat
  • Taraddud: yaitu kemauan yang penuh keragu-raguaan antara ya atau tidak
  • Ham: yaitu cita-cita yang kuat tapi indikasinya belum terlihat jelas
  • ‘Azzam: yaitu cita-cita disertai tekad baja yang indikasinya bisa terlihat pada tindakan
Harus memiliki Ham dulu, mantapkan dalam hati dengan doa yang kuat, semoga Allah karuniakan fadhilah ini kepada kita dan mudahkan. Kemudian jadikan ham tersebut menjadi ‘azzam. Beli buku-buku, kursus, kuliah atau ke pesantren merupakan indikasi dari ‘azzamnya.
Jika belajarnya hanya dengan khathir atau taradud saja, ya… tidak akan bisa.
3) Istiqamah
Ketidakistiqamahan biasanya dari beberapa sebab;
  • Dari diri sendiri, karena malas, putus semangat, salah niat dsb
  • Dari metode atau muallimnya. Jika memang dari hal ini maka sebaiknya komunikasikan dengan muallim (pengajar).
4) Baca sebanyak-banyaknya referensi
Semakin banyak buku panduannya insya Allah akan mumdahkan kita untuk memahami materi, sebab adakalanya pembahasan di buku lain lebih mudah dicerna dan saling melengkapi.
5) Pahami dahulu baru hafalkan
6) Banyak-banyak praktek
Praktek ini sangat menentukan sekali sebab kita akan dipaksa untuk mengulang pelajaran-pelajaran yang telah dipelajari walaupun praktek ini memerlukan kesabaran, keuletan dan ketekunan tinggi. Sebab bisa jadi untuk membaca 1 baris saja memerlukan waktu 1 jam apalagi jika kosa katanya harus cari satu persatu dalam kamus.
Praktek ini ada tiga cara:
  • Praktek sendiri tanpa bimbingan
  • Praktek dengan pendampingan orang yang lebih ahli
  • Ikut kajian kitab
7) Kesadaran bukan semangat
Belajar atau bekerja hanya berlandaskan semangat belaka akan luntur tatkala kesemangatan luluh. Jadi belajar dengan kesadaran, kesadaran akan pentingnya serta hukum wajibnya memepelajari bahasa Arab.
8) Ajarkan pada orang lain
Dengan mengajarkan kepada orang lain, ilmu kita akan bertambah justru seringkali kita paham akan suatu bab tatkala hendak mengajarkan pada orang lain.
9) Berdoa sungguh-sungguh
Fa izda ‘azamta fatawakal ‘alallah…
Demikian semoga bermanfaat.
Sumber: alghaits.wordpress.com
Author: Badar Online

Suatu Faidah Dari Seorang Budak Ulama Nahwu Sibawaih


Suatu Faidah Dari Seorang Budak Ulama Nahwu Sibawaih

Dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki hendak menemui Sibawaih bermaksud ingin menandinginya dalam ilmu Nahwu. Ternyata Sibawaih sedang tidak berada di rumah. Lalu budak perempuan Sibawaih keluar menemui lelaki tersebut. Kemudian ia berkata kepada budak itu, “Di mana tuanmu, wahai budak?” Budak perempuan itu pun menjawab:
فاء إلى الفيء فإن فاء الفيء فاء
“(Tuan) pergi ke suatu tempat (berteduh), jika bayangan sudah pergi (maksudnya jika matahari berada di atas kepala -pen) maka dia (akan) kembali.”

Mendengar tuturan seperti itu, lelaki itu pun berkata:
والله إن كانت هذه الجارية فماذا يكون سيدها
“Demi Allah, jika budaknya saja begini, bagaimana pula dengan tuannya?!”
Lalu dia pun kembali (tidak jadi menantang -pen)
(Ditulis ulang dari majalah “Al-Hisbah”, No. 98, hal. 81)
Faidah yang dapat dipetik dari kisah tersebut:
1. Budak saja pintar Nahwu, kenapa kita yang merdeka malas bahkan tidak mau belajar Nahwu?
2. Kisah di atas menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang sarat makna. Perhatikanlah, bagaimana sang budak merangkai kalimat hanya dengan menggunakan satu sumber kata saja, yaitu الفيء (bagi bashriyyun dan yang sependapat dengan mereka) atau فاء (bagi kufiyyun dan yang sependapat dengan mereka).
3. Budak yang seperti ini termasuk yang diberi taufik oleh Allah, sehingga bisa beristifadah (mengambil manfaat) dari tuannya dari sisi ilmu. Sangatlah disayangkan -khususnya bagi para penuntut ilmu yang langsung meneguk ilmu dari sumbernya- tidak beristifadah dari para syaikh dan ‘alim yang berada di dekatnya, baik dari segi akhlak maupun ilmu. Wallaahul Muwaffiq.
4. Bahasa itu bukan monopoli orang-orang di kelas tertentu saja. Siapapun bisa menguasainya. Bahasa arab bukan monopoli orang-orang arab saja. Orang non-arab sekalipun tidak mustahil bisa menjadi ahli dalam bidang ini. Sungguh Sibawaih dan budaknya menjadi perumpamaan pada poin ini. Sibawaih bukan orang arab, namun dia adalah salah satu pakar tersohor dalam bahasa arab -bahkan menjadi rujukan utama-. Budaknya -yang jelas-jelas budak- walaupun di tengah-tengah kesibukan sebagai budak, namun tidak menghalanginya untuk berbahasa arab dengan sangat apik. Anehnya malah orang arab sendiri -kebanyakan- yang meninggalkan bahasa arab. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa ‘pasaran’ yang kebanyakannya menghilangkan/memangkas -bahkan mengganti/menukar- kaidah dalam bahasa arab. Semoga Allah memberi petunjuk dan taufik-Nya kepada kita semua untuk bisa belajar dan menerapkan bahasa arab dalam kehidupan kita.
Abu Yazid Nurdin
Author: Badar Online 
 

Apakah hukum merokok, haram? makruh? atau mubah? dikupas tuntas di sini


Apakah hukum merokok, haram? makruh? atau mubah? dikupas tuntas di sini


Oleh: Fathi Syamsuddin Ramadhan

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan status hukum rokok. Di dalam Kitab Radd al-Muhtaar, Imam Ibnu ’Abidin rahimahullah menyatakan, ”Pendapat para ulama mengenai masalah ini (rokok) tidaklah seragam. Sebagian ulama berpendapat bahwa rokok hukumnya makruh; sebagian yang lain mengharamkannya, dan sebagian yang lain memubahkannya. Masing-masing menyatakan pendiriannya dalam karya-karya mereka.” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Masih menurut beliau, ”Di dalam Kitab Syarah al-Wahbaaniyyah karya Imam al-Surunbulaliy , beliau menyatakan, ”Dilarang jual beli rokok dan meminumnya (menghisapnya). Orang yang menghisap rokok di saat puasa tidak diragukan lagi ia telah berbuka. Di dalam Syarah al-Allamah Syaikh Isma’il al-Nablusiy, orang tua dari guru kami, ’Abd al-Ghaniy, terhadap kitab Syarah al-Durari, disebutkan bahwa seorang suami punya hak melarang isterinya memakan bawang putih, bawang merah, dan semua makanan yang menyebabkan mulut berbau…Gurunya guru kami, al-Musayyaraiy dan yang lainnya, memberikan fatwa larangan menghisap tembakau.” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

’Allamah Syaikh ’Ali al-Ajhuriy memiliki sebuah risalah (tulisan) yang membolehkan menghisap tembakau. Di dalam tulisan itu disebutkan bahwasanya orang yang memberi fatwa bolehnya menghisap tembakau bersandar kepada Imam empat madzhab. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Ibnu ’Abidin menyatakan, ”Saya katakan, ”Ulama yang juga mengarang tulisan yang membolehkan menghisap tembakau adalah guru kami yang arif, ’Abdul Ghaniy al-Nablusiy. Tulisan itu berjudul al-Shulhu bain al-Ikhwaan fi Ibaahat Syurb al-Dukhaan. Beliau telah menjelaskan dengan sangat baik masalah ini dalam karya-karyanya. Beliau mengkritik dengan sangat keras orang-orang yang mengharamkan atau memakruhkan tembakau. Sebab, keduanya (haram dan makruh) adalah hukum syariat yang harus disandarkan pada dalil. Padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hukum itu. Pasalnya, tidak terbukti bahwa tembakau itu memabukkan, melemahkan, atau membahayakan (dlarar). Tetapi justru terbukti bahwa ia memiliki beberapa manfaat. Hukum tembakau (rokok) masuk dalam kaedah ”al-ashl fi al-asyyaa’ ibaahah” (hukum asal dari benda adalah mubah). Sesungguhnya beberapa dlarar yang terkandung di dalamnya tidak menjadikan keseluruhannya haram. Madu bisa membahayakan orang yang terkena penyakit kuning akut. Seandainya Allah swt menetapkan keharaman atau kemakruhan tembakau, maka pastilah ada dalil yang menunjukkannya. Akan tetapi, jika tidak ada, maka harus dinyatakan bahwa mubah adalah hukum asalnya. Nabi Saw tawaqquf (menahan diri) dalam masalah pengharaman khamer sebagai umm al-khabaaits (induk segala barang yang menjijikkan); padahal beliau adalah musyarri’, hingga turun nash qath’iy pada dirinya….” [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Di dalam Haasyiyyah al-Bajiiramiy disebutkan, ”Jika penguasa memerintahkan perkara-perkara mubah yang di dalamnya terdapat kemashlahatan bagi orang banyak, semacam menghisap rokok, maka, rakyat wajib mentaatinya.” [Haasyiyyah al-Bajiiramiy ’Ala al-Khaathib, juz 5, hal. 475]

Di dalam Fatawa al-Azhar, ’Abdurrahman Qaraa’ah menyatakan, ”Menghisap rokok tidak pernah terjadi di masa Nabi saw, Khulafaaur Rasyidin, shahabat, maupun tabi’in. Menghisap rokok terjadi pada masa-masa belakangan. Para ulama berpendapaty pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka mengharamkannya, dan sebagian lagi memakruhkan. Sebagian lagi memubahkannya. Saya (’Abdurrahman Qara’ah) menguatkan pendapat yang memakruhkannya…” [Fatawa al-Azhar, juz 5, hal. 499]

Adapun Hasanain Mohammad Makhluf menguatkan pendapat yang memubahkannya. Di dalam Fatawa al-Azhar, beliau menyatakan, ”Kami menyatakan; ketahuilah, sesungguhnya hukum menghisap rokok adalah hukum ijtihaadiy. Pendapat para fukaha dalam masalah ini tidaklah seragam. Yang benar menurut kami adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam Kitab Radd al-Muhtaar; bahwa hukum menghisap rokok adalah mubah. Orang-orang yang bersandar kepada imam empat madzhab telah memfatwakan kebolehannya; seperti penuturan dari al-’Allamah al-Ajhuuriy al-Maalikiy di dalam tulisannya.” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]

Menurut Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, menghisap rokok hukumnya adalah haram. Di dalam Kitab Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’ disebutkan, ”Menghisab rokok hukumnya haram. Orang yang terlanjur menghisap rokok, ketika hendak masuk ke dalam masjid wajib membersihkan mulutnya untuk menghilangkan bau busuk mulutnya, dan untuk mencegah dlarar dan gangguan bau rokok bagi orang-orang yang sholat. Akan tetapi, menghisap rokok tidaklah membatalkan wudluk.” [Fatawa Lajnah al-Daaimah li al-Buhuuts wa al-’Ilmiyyah wa al-Iftaa’, juz 7, hal. 282]

Demikianlah, para fukaha kontemporer berselisih pendapat mengenai status hukum rokok. Ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; haram, makruh, dan mubah.

Lantas, mana pendapat rajih yang wajib kita ikuti? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui terlebih dahulu pandangan syariat Islam terhadap hukum asal benda, baru setelah itu hukum-hukum derivatifnya.

Hukum Asal Benda
Pada dasarnya, para ulama sepakat bahwa benda hanya memiliki dua status hukum saja, yakni yakni halal dan haram. Sedangkan hukum atas perbuatan manusia ada lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

Para ulama juga sepakat bahwa hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
”Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-An’aam (6): 145)

Ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa tidak ada benda yang diharamkan oleh Allah swt, kecuali benda-benda yang disebut di dalam ayat ini. Hanya saja, karena ayat ini Makiyyah, maka benda-benda yang diharamkan hanya sebatas pada bangkai, darah yang mengalir, babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Setelah itu, Syaari’ menambah jenis-jenis benda yang diharamkan, baik yang disebutkan di dalam al-Quran maupun hadits-hadits shahih; semacam binatang bertaring dan berkuku tajam, binatang jalalah, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, ayat ini dengan sharih menyatakan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Di ayat lain, Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
”Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…” (Qs. al-Baqarah (2): 29 )
Imam Syaukaniy di dalam Kitab Fath al-Qadiir menyatakan, ”Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari benda yang diciptakan adalah mubah, hingga ada dalil yang memalingkan hukum asalnya (mubah)…” [Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 64]

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (Qs. al-A’raaf (7): 32); dan masih banyak ayat lain yang memiliki pengertian senada.

Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat dipahami dua hal penting. <b.Pertama, sesungguhnya urusan menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah hak prerogatif dari Allah SWT. Manusia tidak boleh menyematkan predikat halal dan haram atas suatu benda, tanpa keterangan dari Allah swt dan RasulNya. Manusia dilarang mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Imam Baidlawiy dalam Tafsir al-Baidlawiy¸ketika menafsirkan surat Al-An’aam:145, beliau menyatakan, ”Di dalam ayat ini ada peringatan (tanbih) bahwa pengharaman sesuatu hanya diketahui dengan wahyu, bukan dengan hawa nafsu”. [Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy (Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil), juz 2, hal. 213]. Kedua, hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

الأ صل فى الأشياء اباحة ما لم يرد دليل التحريم
“Hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak dalil yang mengharamkan”

Walhasil, semua benda yang ada di alam ini telah ditetapkan kemubahannya oleh Allah SWT, kecuali benda-benda tertentu yang diharamkanNya.

Status Hukum Rokok

Hukum Asal Rokok
Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok adalah benda-benda yang berhukum mubah. Sebab, tidak ada satupun nash sharih yang mengharamkan keduanya, baik dalam al-Quran maupun sunnah. Dalam keadaan seperti ini; status hukum tembakau dan cengkeh harus dikembalikan kepada konteks hukum asalnya, yakni mubah.

Jika benda-benda tersebut (tembakau dan cengkeh) digunakan secara bersama-sama atau terpisah, maka penggunaannya diperbolehkan. Dengan demikian, produk yang menggunakan bahan baku tembakau, cengkeh, atau benda-benda mubah lainnya, mengikuti hukum bahan bakunya. Jika bahan bakunya berhukum mubah, maka produk olahannya juga berhukum mubah. Oleh karena itu, selama rokok dibuat dari bahan-bahan mubah, maka status hukum rokok juga mubah, bukan haram atau makruh.

’Allamah ’Abd al-Ghaniy An Nablusiy, di dalam tulisannya menyatakan bahwa tidak ada satu pun dalil syariat yang mengharamkan ataupun memakruhkan rokok; juga tidak terbukti bahwa rokok itu memabukkan, melemahkan, atau menimbulkan bahaya secara umum pada orang yang menghisapnya, hingga ia menjadi haram atau makruh. Oleh karena itu, rokok termasuk dalam kaedah ”al-Ashl fi al-Asyyaa’ Ibaahah”. [Ibnu ’Abidin, Radd al-Muhtaar, juz 27, hal. 266]

Di dalam Kitab Fatawa al-Azhar, ”…Pendapat yang terpilih adalah yang pertama (hukum asal dari sesuatu adalah mubah). Pasalnya, seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Tahrir, menurut jumhur Hanafiyyah dan Syafiyyah, pendapat yang kuat adalah hukum asal dari benda adalah mubah…” [Fatawa al-Azhar, juz 7, hal. 247]

Ini dari sisi status hukum bendanya. Adapun dari sisi hukum perbuatannya, yakni merokok; harus ada perincian lebih mendalam.

Pertama , jika seseorang merokok, dan menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok, dikarenakan telah tampak bahaya yang nyata bagi dirinya. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan dlarar (bahaya) bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram. Udang misalnya, hukum asalnya adalah mubah. Akan tetapi, bagi orang-orang tertentu, udang bisa mendatangkan bahaya (dlarar) yang bersifat muhaqqah. Dalam kondisi semacam ini; orang tersebut dilarang (haram) mengkonsumsi udang, dikarenakan telah terbukti bahaya udang bagi dirinya. Hanya saja, hukum asal udang tetaplah mubah, bukan haram. Sebab, adanya dlarar (bahaya) pada benda-benda mubah, tidaklah mengubah status kemubahan dari benda tersebut. [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459] Oleh karena itu, individu-individu lain tetap diperbolehkan mengkonsumsi udang semampang tidak menyebabkan dlarar yang bersifat muhaqqah bagi dirinya.

Ketentuan di atas didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab Siirahnya, ”Ketika Rasulullah saw melintas di Hijr, beliau berhenti di sana. Pada saat itu, orang-orang meminum air dari sumur Hijr. Ketika, para shahabat sedang istirahat, beliau saw bersabda, ”Janganlah kalian minum dari air sumur Hijr, janganlah kalian berwudluk dengan airnya untuk sholat. Adonan roti apapun yang kalian buat dengan menggunakan airnya, berikanlah kepada onta, dan janganlah kalian memakannya sedikitpun. Dan janganlah seorang diantara kalian keluar malam sendirian, kecuali ditemani oleh temannya. Para shahabat melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi Saw, kecuali dua orang laki-laki dari Bani Sa’idah. Salah satu dari orang itu keluar untuk memenuhi urusannya, sedangkan yang lain keluar untuk mencari onta miliknya. Adapun orang yang pergi untuk memenuhi urusannya, ia jatuh sakit. Sedangkan orang yang pergi untuk mencari ontanya, ia diterbangkan angin hingga terlembar di Jabalaiy Thaiyyi’. Kejadian ini disampaikan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ”Bukankah aku telah melarang kalian agar tak seorangpun diantara kalian pergi sendirian, kecuali disertai teman? Lalu, beliau Saw mendoakan orang yang jatuh sakit ketika hendak bepergian, dan sembuhlah ia dari sakitnya. Sedangkan laki-laki lain yang jatuh di Jabalaiy Thaiyyi`, sesungguhnya kabilah Thai` menunjukkan kepada Rasulullah Saw ketika beliau Saw tiba di Madinah”.[HR. Ibnu Hisyam dan Sirah Ibnu Hisyam]

Berdasarkan riwayat ini dapat disimpulkan; perkara-perkara yang hukum asalnya mubah, jika di dalamnya mengandung bahaya yang pasti (muhaqqah), maka perkara itu berhukum haram, sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah. Sebab, minum air dari sumur manapun, hukum asalnya adalah mubah, termasuk air sumur Hijr. Larangan nabi saw agar para shahabat tidak meminum airnya, tidak menggunakannya untuk berwudluk, dan untuk membuat adonan roti, dikarenakan air tersebut mengandung bahaya. Keluarnya seorang laki-laki di waktu malam sendirian, juga termasuk perkara mubah. Adanya larangan dari Nabi saw agar para shahabat tidak keluar pada waktu malam di tempat itu seorang diri disebabkan karena bahaya (dlarar). Dengan demikian, perkara mubah (baik benda maupun perbuatan), jika perkara tersebut mengandung bahaya, maka hukumnya menjadi haram (karena bahaya yang dikandungnya), sedangkan hukum asalnya tetaplah mubah.

Kedua , Bila dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Pasalnya ada larangan dari Nabi Mohammad saw bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya. Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami.” [HR. Imam Bukhari]

Imam Bukhari juga mengetengahkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ كَانَ مَعَهُ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaklah ia memisahkan diri dari kami, atau beliau bersabda, ”Hendaknya ia memisahkan diri dari masjid kami dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Sesungguhnya, Nabi saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya terdapat sayur-sayuran. Beliau mendapati bau dari sayuran itu. Lalu, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di sayuran itu. Lalu ia (perawiy) berkata, “Para shahabat mendekatkan periuk itu ke beberapa shahabat yang bersama Nabi. Ketika beliau melihatnya, maka beliau tidak suka memakannya. Beliau saw bersabda, “Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Bukhari]

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Jabir bin ’Abdullah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ وَإِنَّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ فَوَجَدَ لَهَا رِيحًا فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنْ الْبُقُولِ فَقَالَ قَرِّبُوهَا إِلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ فَلَمَّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا قَالَ كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَنْ لَا تُنَاجِي
”Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya ia memisahkan diri dari kami, atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaknya ia duduk di rumahnya”. Nabi Saw diberi sebuah periuk yang di dalamnya ada sayuran-sayuran, kemudian beliau saw mendapati bau. Lantas, beliau bertanya, dan beliau diberitahu apa yang ada di dalam sayuran itu. Kemudian perawi berkata, ”Para mendekatkannya kepada sebagian shahabatnya. Tatkala beliau mengetahuinya, beliau tidak suka memakannya, seraya berkata, ”Makanlah. Sesungguhnya aku berbisikan dengan malaikat”. [HR. Imam Muslim]

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw melarang orang yang memakan bawang putih atau bawang merah mendekati masjid disebabkan karena baunya yang mengganggu orang lain. Dengan demikian, larangan Nabi saw disebabkan karena aroma atau bau menyengatnya; yang ini hal ini tentunya menganggu orang lain yang hendak beribadah kepada Allah SWT. Alasan ini diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini. Dalam hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jabir ra , bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْبَصَلِ وَالْكُرَّاثِ فَغَلَبَتْنَا الْحَاجَةُ فَأَكَلْنَا مِنْهَا فَقَالَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ
”Rasulullah saw melarang makan bawang mereka dan bawang bakung. Lalu, kebutuhan begitu mendesak kami, hingga akhirnya kami memakannya. Nabi saw bersabda, ”Barangsiapa memakan tumbuhan ini, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu karenanya, begitu pula manusia.” [HR. Imam Muslim]

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
”Barangsiapa memakan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung, janganlah mendekati masjid kami. Sesungguhnya malaikat merasa terganggu, sebagaimana anak Adam merasa terganggu darinya.” [HR. Imam Muslim]

Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Umar ra bahwasanya ia sedang berkhuthbah;
إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ لَا أَرَاهُمَا إِلَّا خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنْ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ قَالَ ح و حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ كِلَاهُمَا عَنْ شَبَابَةَ بْنِ سَوَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ جَمِيعًا عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
”Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang menurutku tidak baik, yakni bawang merah dan bawang puti. Sungguh, dahulu aku melihat Rasulullah saw jika mendapati bau keduanya dari seseorang, beliau menyuruh orang itu keluar dari masjid. Karenanya, jika kalian ingin memakannya, hendaklah kalian memasaknya terlebih dahulu.” [HR. Imam Muslim]

Berdasarkan hadits-hadits ini dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa orang yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain. Atas dasar itu, seseorang makruh merokok di dalam masjid dikarenakan bisa mengganggu orang lain.

Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh, berdasarkan riwayat-riwayat di atas.

Ketiga, jika seseorang merokok, dan tidak menimbulkan dlarar yang bersifat muhaqqah pada dirinya, serta dilakukan di tempat atau komunitas yang tidak menganggu orang lain, maka status hukumnya adalah boleh. Dalilnya adalah kebolehan memanfaatkan benda-benda mubah. Selain itu, ’illat yang menyebabkan pengharaman rokok, yakni bahaya yang bersifat muhaqqah tidak terwujud pada orang tersebut; dan ia melakukan aktivitas di suatu tempat dan komunitas yang tidak terganggu oleh asap rokok.

Wallahu A’lam bish Shawab.

Catatan Kaki
[1] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal. 309; Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[2] Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal.250
[3] ibid, hal. 309. Lihat juga, Qadliy al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.197
[4] Al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz II, hal.309
[5]Imam al-Amidiy, menyatakan, "Syarat-syarat seorang Mujtahid dalam berijtihad ada dua; (1) ia harus mengetahui Wujud Allah SWT, Shifat-shifat WajibNya, serta KesempurnaanNya; dan ia juga mengetahui bahwa Allah swt adalah Wajib al-Wujud (Wajib Ada) karena DzatNya, Hidup, Mengetahui, Memiliki Kemampuan, Berkehendak, Berkata-kata, hingga tergambar dariNya masalah taklif. Ia harus menyakini Rasulullah, dan semua syariat manqul yang diturunkan kepadanya, mukjizat yang dimilikinya, tanda-tanda kenabian yang menakjubkan, agar semua pendapat dan hukum yang disandarkan kepada beliau saw benar-benar haq. Namun demikian, seorang mujtahid tidak disyaratkan menguasai ilmu kalam secara rinci dan mendalam, seperti halnya ulama-ulama ahli kalam yang masyhur. Akan tetapi, ia cukup mengetahui perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah keimanan seperti yang telah kami sampaikan di atas. Seorang mujtahid juga tidak disyaratkan mengetahui dalil-dalil syariat secara terperinci hingga taraf bisa menetapkan dan memilah-milahkan dalil, dan melenyapkan kesamaran dari dalil-dalil tersebut, sebagaimana ahli Ushul. Namun, ia hanya cukup mengetahui dalil-dalil yang berhubungan perkara-perkara tersebut secara global, dan tidak harus rinci. (2) Seorang Mujtahid harus mengetahui dan memahami sumber-sumber hukum syariat beserta bagian-bagiannya; metodologi penetapannya, arah dilalah atas madlul-madlulnya, perbedaan martabatnya, syarat-syaratnya. Ia juga harus mengetahui arah tarjihnya jika terjadi pertentangan diantara dalil-dalil tersebut, dan bagaimana cara menggali hukum dari dalil tersebut. Ia juga mampu melakukan tarjih dan penetapan dalil; serta mampu menguraikan (memisahkan) pertentangannya. Hal ini akan tercapai jika ia mengetahui dan memahami perawi-perawi hadits, serta cara melakukan jarh wa ta'diil, mana yang shahih dan mana yang tidak; seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu'in. Ia juga harus memahami asbab nuzul (latar belakang turunnya ayat), nasikh dan mansukh yang terdapat di dalam nash-nash syariat. Ia juga harus mengetahui bahasa Arab dan ilmu nahwu. Hanya saja, tidak disyaratkan ia harus memiliki kemampuan dalam hal bahasa seperti halnya al-Asmu'iy, atau mahir dalam masalah nahwu, seperti Imam Sibawaih dan Khalil. Akan tetapi, ia cukup memahami konteks-konteks bahasa Arab, serta percakapan-percakapan yang biasa terjadi diantara mereka hingga taraf bisa membedakan dalalah al-lafadz yang terdiri dari dalalah al-muthabiqah, al-tadlmiin, dan iltizam. Ia juga harus mengetahui mufrad dan murkab, makna kulliy dan juz'iy , haqiqah dan majaz, makna tunggal (al-tawathiy) dan makna pecah (al-muystarak), taraduf dan tabaayun, nash dan dzahir, umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, dalalah iqtidla' dan isyarah, tanbih wa al-ima', dan lain-lain.
[6] Qadliy al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz I, hal.213-216. Bandingkan juga dengan Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkam, juz II, hal. 309-311